Senin, 26 Januari 2015

Tiga Menteri Jokowi Diberi Nilai D

Tiga menteri dalam kabinet Jokowi-JK mendapat nilai D alias tidak lulus. Ketiga menteri tersebut adalah Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdjianto, Menteri Hukum Dan HAM Yasona Laoly, dan Jaksa Agung Prasetyo.
"Saya sebagai dosen memberi nilai tidak lulus kepada ketiga menteri tersebut, tetapi belum drop out (DO)," kata pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI), Ganjar Laksmana Bonaparte di Jakarta, Minggu (25/1).
Sementara itu, Ketu Umum ILUNI FHUI, Melli Darsa pada keterangan pers di Jakarta, Minggu (25/1), mengatakan, Jokowi-JK hanya telah menyampaikan 5 program hukum yang disebut "Agenda Keadilan."
Kelima agenda itu yakni pemberantasan korupsi, penegakan dan perlindungan HAM, penegakan hukum lingkungan dan reformasi agraria, reformasi lmbaga penegak hukum, dan reformasi legislasi.
"Adapun dua prioritas kerja utama yang dikedepankan oleh Jokowi pada 5 Juni 2014, yakni penerbitan Perpres tentang Percepatan Izin Usaha, dan Perpres Antikorupsi," katanya.
Menurut Melli Darsa, dalam 100 hari pertama pemerintahannya Presiden Joko Widodo nampak telah menggadaikan jabatan-jabatan strategis di bidang hukum dalam rangka transaksi politik dan balas budi.
Sedangkan pemberantasan mafia hukum serta korupsi, kolusi dan nepotisme sama sekali belum diprioritaskan."Saya secara pribadi sulit memberi nilai kalau melihat penunjukan orang untuk menduduki posisi-posisi hukum berdasarkan bagi-bagi jabatan atau balas budi. Tetapi dalam bidang hukum nilai D. Ketiga menteri di bidang hukum tak lulus, karena hukum belum jadi prioritas, tidak penting sama sekali di mata Jokowi," kata Melli Darsa.

Sebagaimana diketahui, pada Januari 2015 merupakan tepat 100 hari pertama pemerintahan Jokowi-JK. Tidak seperti pemerintahan SBY-Boediono yang telah menetapkan Program Kerja 100 hari pertama, Jokowi-JK memang tidak menetapkan program khusus.
Melli Darsa lebih jauh mengatakan, ada dua indikator utama yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja Pemerintahan Jokowi-JK di bidang hukum. Pertama adalah program kebijakan hukum nasional yang disusun. Kedua, pelaksanaan hak prerogatif presiden terkait penunjukan/pencalonan calon-calon pejabat negara cabang eksekutif di bidang hukum, termasuk efektivitas Lembaga Kepresidenan dalam memonitor kinerja pejabat yang telah ditunjuk.
Dikatakan, begitu banyak pekerjaan rumah Jokowi dalam pembangunan hukum nasional yang "diwariskan" Pemerintahan SBY, tapi Pemerintahan Jokowi-JK tidak punya Grand Design atau Blue Print tentang Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Belum lagi terkait KUHP-KUHAP yang sudah sangat usang dan telah menggantung puluhan tahun nasib pembahasannya.

Hak Prerogatif

Terkait penggunaan hak prerogatif Presiden untuk mengangkat Menko Polhukam, Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, dan dalam mencalonkan Budi Gunawan sebagai Kapolri, Melli Darsa berpendapat, tidak satu pun dari empat pihak tersebut memiliki kompetensi dan kontribusi memadai dilihat dari track record-nya dan potensi mereka sebagai motor reformasi kelembagaan dan peraturan hukum.
"Masih banyak orang lain yang lebih layak (fit) dan pantas (proper) untuk diangkat. Semua penunjukan kental ditentukan oleh elite parpol," katanya.
Dalam hal Budi Gunawan, lanjut Melli, yang bersangkutan sudah jelas punya rapor merah, namun tetap dipaksakan sebagai calon tunggal Kapolri. Tidak heran kalau semua itu menuai penolakan yang kuat dari publik serta KPK dan PPATK.
"Proses yang berlangsung semakin memberi kesan bahwa pemilihan pejabat-pejabat hukum merupakan imbalan atas dukungan politik yang diterima Jokowi saat pencalonannya sebagai Presiden," katanya. [*]

Sumber: Suara Pembaruan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar